Sejarah Indonesia Sebelum Kemerdekaan
I.
Perjanjian Linggajati
Masuknya
AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo'
di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda,
seperti contohnya peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi
penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Oleh
sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, Diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan
Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena
Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Pulau
Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.
Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili
oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan
anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator
dalam perundingan ini.
Hasil
perundingannya yakni sebagai berikut:
1. Belanda
mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan
Sumatera.
2. Akan
dibentuk negara federal dengan nama Indonesia Serikat yang salah satu negara
bagiannya adalah Republik Indonesia.
3. Dibentuk
Uni Indonesia-Belanda dengan ratu Belanda sebagai kepala uni.
4. Pembentukan
Republik Indonesia Serikat(RIS) dan Uni Indonesia-Belanda sebelum tanggal 1
Januari 1949.
II.
Perjanjian Renville
Secara
resmi perundingan baru dimulai tanggal 8 Desember 1947 di kapal Renville yang
berlabuh di perairan Jakarta dan ditengahi oleh KTN ( Komisi Tiga Negara), Commitee
of Good Office For Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Belgia dan
Australia. Dengan melalui prosedur yang sulit, KTN berunding secara informal
dan melakukan desakan-desakan secara halus terhadap kedua belah pihak.
Menjelang hari Natal 1947, KTN mengajukan kedua belah pihak Pesan Natal atau Christmas
Massage berisi dua hal pokok.
1. Pertama
: immidiate standfast and cease-fire (berdiri tegak di tempat dan menghentikan
tembak-menembak dengan segera).
2. Kedua
: pengulangan kembali perjanjian Linggarjati.
Isi Perjanjian
Renville :
1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah,
Yogyakarta, dan Sumatera sebagai wilayah Indonesia
2.
Disetujui garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah
pendudukan Belanda
3.
TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di daerah pendudukan di
Jawa Barat dan Jawa Timur
Akhirnya, pada
tanggal 17 Januari 1948, naskah persetujuan Renville ditandatangani, yang
antara lain berisi : “Persetujuan antara Indonesia dan Belanda; dan enam pokok
prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai penyelesaian politik”.
Persetujuan Renville mengalami nasib yang sama dengan Persetujuan Linggarjati.
Belanda melakukan aksi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948. KTN
melaporkan kepada Dewan Keamanan bahwa Belanda nyata-nyata melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan Dewan Keamanan. Dewan Keamanan bersidang pada 22
Desember 1948, dengan menghasilkan resolusi; mendesak agar permusuhan segera
dihentikan dan pimpinan Indonesia yang ditawan segera dibebaskan. KTN ditugasi
menjadi pengawas pelaksana resolusi itu.
Ketika Dewan
Keamanan bersidang kembali pada tanggal 7 Januari 1949, tampak sekali bahwa
pendapat umum dunia terhadap pihak Belanda makin lama semakin memburuk. Perdana
Menteri India, Jawarak Nehru, tanggal 23 Januari 1949 atas nama konferensi Asia
di New Delhi menuntut dipulihkannya Republik Indonesia kepada keadaan semula,
ditarik mundurnya tentara Belanda, diserahkan kedulatan kepada rakyat
Indonesia, dan diperluasnya wewenang KTN. Konferensi New Delhi ini diprakarsai
oleh Perdana Menteri India dan dihadiri oleh wakil-wakil negara-negara
Afganistan, Australia, Burma, Sri Lanka, Mesir, Etiopia, India, Irak,Iran,
Lebanon, Pakistan, Filipina, Saudi Arabia, Suriah, dan Yaman sebagai peserta;
dan wakil dari negara-negara Cina, Nepal, Selandia Baru, dan Muangthai sebagai
peninjau.
Para peserta
Konferensi New Delhi merupakan suatu unsur yang cukup besar dalam lingkungan
PBB. Oleh karena itu, Dewan Keamanan memberikan perhatian yang wajar kepada
tuntutan Konferensi New Delhi ini. Demikian suara dari 16 negara Asia, Afrika,
Arab, dan Australia berkumandang di Dewan Keamanan, sehingga pada tanggal 28
Januari 1949 Dewan Keamanan menerima suatu resolusi yang antara lain berbunyi
sebagai berikut:
1.
Segera melakukan gencatan senjata
2.
Pemimpin-pemimpinn Indonesia segera di bebaskan dan kembali ke
Yogyakarta
Resolusi itu untuk
pertama kalinya menentukan dengan jelas garis-garis dan jangka waktu “penyerahan”
kedaulatan dari tangan Belanda ke pihak Indonesia, dan meluaskan wewenang KTN
yang namanya diubah United Nations
Commisions of Indonesia (UNCI). Oleh karena Republik Indonesia dengan jujur
menjalakan politik damai dan bersedia berunding untuk menyelesaikan soal-soal
Indonesia atas prinsip Indonesia Merdeka dan siap berperang unruk membela diri
apabila diserang, pejuang Republik Indonesia mendapat simpati dunia
internasional di forum PBB.
III.
Perjanjian Roem-Royen
Konflik antara
pihak Indonesia dan Belanda diselesaikan melalui jalur perundingan. Hal ini
dikarenakan kedua belah pihak menyetujuinya. Pada tanggal 4 April 1949
dilaksanakanlah perundingan di Jakarta dibawah pimpinan Merle Cochran. Merle
Cochran adalah anggota komisi yang berasal dari Amerika Serikat. Delegasi dari
Indonesia yakni Mr. Mohammad Roem dan delegasi dari pihak Belanda yakni Dr.
J.H. van Royen. Kedua
belah pihak tetap kokoh pada pendiriannya. Akhirnya, pada tanggal 7 Mei 1949
berhasil dicapai persetujuan antara kedua belah pihak. Kemudian disepakati
kesanggupan kedua belah pihak untuk melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB
pada tanggal 28 Januari 1949 dan persetujuan pada tanggal 23 Maret 1949.
Pernyataan pemerintah Republik Indonesia dibacakan oleh Mr. Mohammad Roem yang
berisi antara lain:
- Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah penghentian perang gerilya.
- Kedua belah pihak bekerja sama dalam hai mengembalikan perdamaian dan menjaga keamanan serta ketertiban.
- Belanda turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang bertujuan
mempercepat penyerahan kedaulatan lengkap dan tidak bersyarat kepada
negara Republik Indonesia Serikat.
Pernyataan
Delegasi Belanda dibacakan oleh Dr. J.H. van Royen, yang berisi antara lain
sebagai berikut.
- Pemerintah Belanda menyetujui bahwa pemerintah Republik Indonesia harus bebas dan leluasa melakukan kewajiban dalam satu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta.
- Pemerintah Belanda membebaskan secara tidak bersyarat para pemimpin Republik Indonesia dan tahanan politik yang ditawan sejak tanggal 19 Desember 1948.
- Pemerintah Belanda menyetujui bahwa Republik Indo-nesia akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
- Konferensi Meja Bundar (KMB) akan diadakan secepatnya di Den Haag sesudah pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.
Setelah tercapainya
kesepakatan antara dua belah pihak, kemudian Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) di Sumatera memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk
mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari tangan Belanda. Kemudian pada
tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO),
dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley.
Perundingan itu menghasilkan tiga keputusan, yaitu sebagai berikut.
- Pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta akan dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1949.
- Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada tanggal 1 Juli 1949.
- Konferensi Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.
Setelah tercapainya perundingan Roem Royen,
pada tanggal 1 Juli 1949 pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke
Yogyakarta. Selanjutnya, disusul dengan kedatangan para pemimpin Republik
Indonesia dari medan gerilya. Panglima Besar Jenderal Sudirman tiba kembali di
Yogyakarta tanggal 10 Juli 1949. Setelah pemerintahan Republik Indonesia
kembali ke Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang
kabinet. Dalam sidang tersebut Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandat
kepada wakil presiden Moh Hatta. Dalam sidang tersebut juga diputuskan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi menteri pertahanan merangkap
koordinator keamanan.
IV.
Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar
(KMB) dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949 di Den Haag, Belanda.
Dengan delegasi dari Indonesia yakni Drs. Moh. Hatta, delegasi BFO dipimpin
oleh Sultan Hamid II, delegasi UNCI dihadiri oleh Chritchley, Merle Cochran dan
Heermans, dan delegasi dari Belanda yakni J.H van Maarseveen.
Upaya untuk mengekang kemerdekaan Indonesia
dengan cara kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda dan Indonesia dan
kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini
diplomasi, melalui negosiasi dan kesepakatan Linggarjati Renville.
Setelah Perjanjian Roem Royen,
Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih
diasingkan di Pasifik, bersedia untuk berpartisipasi dalam konferensi meja
bundar untuk mempercepat transfer kedaulatan. Pemerintah Indonesia, yang telah
diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibukota sementara di Yogyakarta pada
tanggal 6 Juli 1949. Dalam rangka untuk memastikan kesetaraan perundingan
posisi antara delegasi Republik dan federal, pada paruh kedua Juli 1949 dan
dari 31 Juli – 2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia yang diselenggarakan di
Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang
akan dibentuk.
Pembicaraan menghasilkan
sejumlah dokumen, termasuk Piagam Kedaulatan, Unity Statuta, perjanjian dan
kesepakatan urusan sosial dan militer terkait ekonomi. Mereka juga menyepakati
penarikan pasukan Belanda “dalam waktu sesingkat mungkin”. Selain itu, tidak
akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, dan
Republik bersedia untuk mengambil alih perjanjian perdagangan sebelumnya
dinegosiasikan oleh Hindia Belanda. Namun masih terdapat perdebatan dalam utang
pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.
J.H. Maarseveen, Sultan
Hamid II dan Mohammad Hatta menandatangani Perjanjian Meja Bundar, 2 November
1949
Mengenai utang pemerintah
Kolonial Hindia-Belanda masih terdapat perdebatan yakni pihak mana yang harus
menanggung utang yang dibuat oleh Belanda setelah mereka menyerah kepada Jepang
pada tahun 1942. Pada tanggal 24 Oktober, delegasi Indonesia setuju untuk
menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Belanda.
Berkenaan dengan masalah
Papua Barat delegasi Indonesia percaya bahwa Indonesia harus mencakup seluruh
wilayah Hindia Belanda. Di sisi lain, Belanda ditolak karena mengklaim bahwa
Papua Barat tidak memiliki hubungan etnik dengan daerah lain di Indonesia. Pada
akhirnya, pada awal 1 November 1949 kesepakatan diperoleh, status Papua Barat
akan ditentukan melalui negosiasi antara Republik Indonesia Serikat dan Belanda
dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.
Konferensi ini dilakukan
secara resmi ditutup di gedung parlemen
Belanda pada 2
November 1949. Kedaulatan diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada 27
Desember 1949.
Isi perjanjian konferensi adalah sebagai berikut:x