Jumat, 19 Oktober 2018

Sejarah Indonesia Sebelum Kemerdekaan


    

    I.            Perjanjian Linggajati
Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, Diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja. Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.
Hasil perundingannya yakni sebagai berikut:                                                       
1.      Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera.
2.      Akan dibentuk negara federal dengan nama Indonesia Serikat yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
3.      Dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan ratu Belanda sebagai kepala uni.
4.      Pembentukan Republik Indonesia Serikat(RIS) dan Uni Indonesia-Belanda sebelum tanggal 1 Januari 1949.
 
    II.            Perjanjian Renville
Secara resmi perundingan baru dimulai tanggal 8 Desember 1947 di kapal Renville yang berlabuh di perairan Jakarta dan ditengahi oleh KTN ( Komisi Tiga Negara), Commitee of Good Office For Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Belgia dan Australia. Dengan melalui prosedur yang sulit, KTN berunding secara informal dan melakukan desakan-desakan secara halus terhadap kedua belah pihak. Menjelang hari Natal 1947, KTN mengajukan kedua belah pihak Pesan Natal atau Christmas Massage berisi dua hal pokok.
1.      Pertama : immidiate standfast and cease-fire (berdiri tegak di tempat dan menghentikan tembak-menembak dengan segera).
2.      Kedua : pengulangan kembali perjanjian Linggarjati.
Isi Perjanjian Renville :
1.  Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai wilayah Indonesia
2. Disetujui garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di daerah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur
Akhirnya, pada tanggal 17 Januari 1948, naskah persetujuan Renville ditandatangani, yang antara lain berisi : “Persetujuan antara Indonesia dan Belanda; dan enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai penyelesaian politik”. Persetujuan Renville mengalami nasib yang sama dengan Persetujuan Linggarjati. Belanda melakukan aksi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948. KTN melaporkan kepada Dewan Keamanan bahwa Belanda nyata-nyata melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Dewan Keamanan. Dewan Keamanan bersidang pada 22 Desember 1948, dengan menghasilkan resolusi; mendesak agar permusuhan segera dihentikan dan pimpinan Indonesia yang ditawan segera dibebaskan. KTN ditugasi menjadi pengawas pelaksana resolusi itu.
Ketika Dewan Keamanan bersidang kembali pada tanggal 7 Januari 1949, tampak sekali bahwa pendapat umum dunia terhadap pihak Belanda makin lama semakin memburuk. Perdana Menteri India, Jawarak Nehru, tanggal 23 Januari 1949 atas nama konferensi Asia di New Delhi menuntut dipulihkannya Republik Indonesia kepada keadaan semula, ditarik mundurnya tentara Belanda, diserahkan kedulatan kepada rakyat Indonesia, dan diperluasnya wewenang KTN. Konferensi New Delhi ini diprakarsai oleh Perdana Menteri India dan dihadiri oleh wakil-wakil negara-negara Afganistan, Australia, Burma, Sri Lanka, Mesir, Etiopia, India, Irak,Iran, Lebanon, Pakistan, Filipina, Saudi Arabia, Suriah, dan Yaman sebagai peserta; dan wakil dari negara-negara Cina, Nepal, Selandia Baru, dan Muangthai sebagai peninjau.
Para peserta Konferensi New Delhi merupakan suatu unsur yang cukup besar dalam lingkungan PBB. Oleh karena itu, Dewan Keamanan memberikan perhatian yang wajar kepada tuntutan Konferensi New Delhi ini. Demikian suara dari 16 negara Asia, Afrika, Arab, dan Australia berkumandang di Dewan Keamanan, sehingga pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan menerima suatu resolusi yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
1.      Segera melakukan gencatan senjata
2.      Pemimpin-pemimpinn Indonesia segera di bebaskan dan kembali ke Yogyakarta
Resolusi itu untuk pertama kalinya menentukan dengan jelas garis-garis dan jangka waktu “penyerahan” kedaulatan dari tangan Belanda ke pihak Indonesia, dan meluaskan wewenang KTN yang namanya diubah United Nations Commisions of Indonesia (UNCI). Oleh karena Republik Indonesia dengan jujur menjalakan politik damai dan bersedia berunding untuk menyelesaikan soal-soal Indonesia atas prinsip Indonesia Merdeka dan siap berperang unruk membela diri apabila diserang, pejuang Republik Indonesia mendapat simpati dunia internasional di forum PBB.
 III.            Perjanjian Roem-Royen
Konflik antara pihak Indonesia dan Belanda diselesaikan melalui jalur perundingan. Hal ini dikarenakan kedua belah pihak menyetujuinya. Pada tanggal 4 April 1949 dilaksanakanlah perundingan di Jakarta dibawah pimpinan Merle Cochran. Merle Cochran adalah anggota komisi yang berasal dari Amerika Serikat. Delegasi dari Indonesia yakni Mr. Mohammad Roem dan delegasi dari pihak Belanda yakni Dr. J.H. van Royen. Kedua belah pihak tetap kokoh pada pendiriannya. Akhirnya, pada tanggal 7 Mei 1949 berhasil dicapai persetujuan antara kedua belah pihak. Kemudian disepakati kesanggupan kedua belah pihak untuk melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB pada tanggal 28 Januari 1949 dan persetujuan pada tanggal 23 Maret 1949. Pernyataan pemerintah Republik Indonesia dibacakan oleh Mr. Mohammad Roem yang berisi antara lain:
  1. Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah penghentian perang gerilya.
  1. Kedua belah pihak bekerja sama dalam hai mengembalikan perdamaian dan menjaga keamanan serta ketertiban.
  1. Belanda turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang bertujuan mempercepat penyerahan kedaulatan lengkap dan tidak bersyarat kepada negara Republik Indonesia Serikat.
Pernyataan Delegasi Belanda dibacakan oleh Dr. J.H. van Royen, yang berisi antara lain sebagai berikut.
  1. Pemerintah Belanda menyetujui bahwa pemerintah Republik Indonesia harus bebas dan leluasa melakukan kewajiban dalam satu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta.
  1. Pemerintah Belanda membebaskan secara tidak bersyarat para pemimpin Republik Indonesia dan tahanan politik yang ditawan sejak tanggal 19 Desember 1948.
  1. Pemerintah Belanda menyetujui bahwa Republik Indo-nesia akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
  1. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan diadakan secepatnya di Den Haag sesudah pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.
Setelah tercapainya kesepakatan antara dua belah pihak, kemudian Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari tangan Belanda. Kemudian pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley. Perundingan itu menghasilkan tiga keputusan, yaitu sebagai berikut.
  1. Pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta akan dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1949.
  1. Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada tanggal 1 Juli 1949.
  1. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.  
Setelah tercapainya perundingan Roem Royen, pada tanggal 1 Juli 1949 pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke Yogyakarta. Selanjutnya, disusul dengan kedatangan para pemimpin Republik Indonesia dari medan gerilya. Panglima Besar Jenderal Sudirman tiba kembali di Yogyakarta tanggal 10 Juli 1949. Setelah pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang kabinet. Dalam sidang tersebut Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandat kepada wakil presiden Moh Hatta. Dalam sidang tersebut juga diputuskan Sri Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi menteri pertahanan merangkap koordinator keamanan.
 
 
 IV.            Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar (KMB) dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949 di Den Haag, Belanda. Dengan delegasi dari Indonesia yakni Drs. Moh. Hatta, delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II, delegasi UNCI dihadiri oleh Chritchley, Merle Cochran dan Heermans, dan delegasi dari Belanda yakni J.H van Maarseveen.
 Upaya untuk mengekang kemerdekaan Indonesia dengan cara kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda dan Indonesia dan kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini diplomasi, melalui negosiasi dan kesepakatan Linggarjati Renville.
Setelah Perjanjian Roem Royen, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih diasingkan di Pasifik, bersedia untuk berpartisipasi dalam konferensi meja bundar untuk mempercepat transfer kedaulatan. Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibukota sementara di Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949. Dalam rangka untuk memastikan kesetaraan perundingan posisi antara delegasi Republik dan federal, pada paruh kedua Juli 1949 dan dari 31 Juli – 2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk.
Pembicaraan menghasilkan sejumlah dokumen, termasuk Piagam Kedaulatan, Unity Statuta, perjanjian dan kesepakatan urusan sosial dan militer terkait ekonomi. Mereka juga menyepakati penarikan pasukan Belanda “dalam waktu sesingkat mungkin”. Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, dan Republik bersedia untuk mengambil alih perjanjian perdagangan sebelumnya dinegosiasikan oleh Hindia Belanda. Namun masih terdapat perdebatan dalam utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.
J.H. Maarseveen, Sultan Hamid II dan Mohammad Hatta menandatangani Perjanjian Meja Bundar, 2 November 1949
Mengenai utang pemerintah Kolonial Hindia-Belanda masih terdapat perdebatan yakni pihak mana yang harus menanggung utang yang dibuat oleh Belanda setelah mereka menyerah kepada Jepang pada tahun 1942. Pada tanggal 24 Oktober, delegasi Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Belanda.
Berkenaan dengan masalah Papua Barat delegasi Indonesia percaya bahwa Indonesia harus mencakup seluruh wilayah Hindia Belanda. Di sisi lain, Belanda ditolak karena mengklaim bahwa Papua Barat tidak memiliki hubungan etnik dengan daerah lain di Indonesia. Pada akhirnya, pada awal 1 November 1949 kesepakatan diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui negosiasi antara Republik Indonesia Serikat dan Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.
Konferensi ini dilakukan secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Kedaulatan diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Isi perjanjian konferensi adalah sebagai berikut:
1.      Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
2.      Masalah Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun sesudah pengakuan kedaulatan.
3.      Akan didirikan Uni Indonesia Belanda berdasarkan kerja sama.
4.      Pengembalian hak milik Belanda oleh RIS dari pemberian hak konsesi dan izin baru untuk perusahaan.
5.      RIS harus membayar segala utang Belanda yang diperbuatnya sejak tahun 1942.
Untuk menindaklanjuti hasil KMB maka tanggal 16 Desember 1949 Ir. Soekarno dilantik sebagai presiden RIS. Pada tanggal 20 Desember 1949, Presiden Soekarno membentuk kabinet RIS yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta sebagai perdana menterinya. Pada tanggal 23 Desember 1949, delegasi RIS yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta berangkat ke Belanda untuk menandatangani naskah pengakuan kedaulatan RI dari pemerintah Belanda. Upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan tersebut dilakukan pada waktu yang bersamaan, baik di Indonesia maupun di Belanda yaitu pada tanggal 27 Desember 1949. Sementara itu, di Jakarta penyerahan kedaulatan dilakukan oleh Wakil Tinggi Mahkota A.H.J. Lovink dan Ir. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam suatu upacara penyerahan kedaulatan. Dengan ditandatanganinya naskah penyerahan kedaulatan maka secara formal Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dan mengakui kedaulatan penuh negara Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda (kecuali Irian Barat).x
x

Selasa, 24 Juli 2018

Pesan Buat semua guru dan calon guru dalam mendidik

Dalam era globalisasi saat ini peran pendidik sangatlah penting dimana dalam mewujudkan semua cita-cita bangsa  untuk menjadi bangsa yang beradab dan memiliki integritas. Seorang pendidik adalah benteng terakhir untuk mewujudkan itu semua di mana kelak para generasi muda menjadi pemikir-pemikir yang hebat. Seorang pendidikpun tak akan berhasil jika tak ada dukungan sepenuhnya dari pemerintah.

Contoh : Jika seorang pendidik berhasil memberikan banyak kesempatan bagi peserta didik dalam berbagai aspek seperti keterampilan  dan kognitif . untuk menyalurkan itu semua tentu pemeerintah harus memberikan banyak peluang bagi masa depan seorang anak.

Contoh buruknya pemerintah tentang keberhasilan seseorang : ketika seorang anak memiliki kognitif di atas rata-rata tetapi pemerintah hanya sebatas tahu saja tapi tidak menyikapi lebih seperti fasilitas yang kurang mewadahi. contoh kongkritnya seperti anak bangsa yang banyak berhasil menciptakan sesuatu tapi tidak dihargai di negara ini justru berhasil di negara orang lain. (Contoh kongkrit orang-orangnya sengaja tidak saya sebut karena banyaknya silahkan google sendiri)

disampin itu seorang pendidikjangan hanya memberikan Transfer Of Knowledge kepada seorang anak tapi berilah pembelajaran MORAL yang sangat penting. kenapa? karena kalau hanya sekedar Transfer Of Knowledge google lebih pintar dari semua calon pendidik. kenapa pendidik harus menerapkan pembelajaran MORAL dalam pembelajaran? kembali lagi di zaman globalisasai ini peserta didik banyak yang tidak memilik moral seperti tahun 90' an di mana seorang peserta didik saat ini tidak takut lagi dengan seorang guru, banyaknya pergaulan yang salah tentu itu akan merusak generasi yang akan depan. Di mana MORAL lah yang akan merubah sifat anak didik itu akan lebih baik. satu lagi di mana  pendidik tak seharusnya memaksakan peserta didik untuk menuntut apa yang seorang pendidik sukai, tapi berilah tempat dan fasilitas buat peserta didik dalam mewujudkan apa yang dia senangi saat di bangku sekolah .


Strategi Pembelajaran Seorang Pendidik yang Efeketif


A.    Pengertian Pengelolaan Kelas 
      Pengelolaan kelas adalah keterampilan guru untuk meciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikaannya bila terjadi gangguan dalam proses belajar-mengajar. Dengan kata lain, pengelolaan kelas adalah kegiatan-kegiatan untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar-mengajar. Misalnya, penghentian tingkah laku peserta didik yang mnenyelewengkan perhatian kelas, pemberian hadiah bagi ketepatan waktu penyelesaian tugas oleh siswa, atau penetapan norma kelompok yang produktif.                                                                                                                                                                                                                            
     Pengelolaan kealas dimaksudkan untuk meciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didik sehingga tercapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efesien. Ketika kelas terganggu, guru berusaha mengembalikannya agar tidak menjadi penghalang bagi proses belajar menngajar
     Hadari Nawawi (1990) memandnag kelas dari dua sudut, yaitu
1.      Kelas dalam arti sempit yakni, ruangan yang dibatasi oleh empat dinding, tempat sejumlah siswa berkumpul untuk mengikuti proses belajar mengajar. Kelas dalam pengertian tradisional ini mengandung sifat statis karena sekadar mneunjuk pengelompokkan siswa menurut tingkat perkembangannya yang antara lain didasarkan pada batas umur kronologis masing-masing
2.      Kelas dalam arti luas, suatu masyarakat kecil yang meerupakan bagian dari masyarakat sekolah, yang sebagai satu kesatuan organisasi menjadi unit kerja yang secara dinamis menyelenggarakan kegiatan-kegiatan belajar-mengajar yang kreatif untuk mencapai suatu tujuan

B.     Tujuan Pengelolaan Kelas
      Tujuan kelas pada hakikatnya telah terkandung pada tujuan pendidikan dan secara umum tujuan pengelolaan kelas adalah penyediaan fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar siswa dalam lingkungan social, emosional dan intelektual dalam kelas sehingga peserta didik terhindar dari permasalahan seperti siswa mengantuk, enggan mengerjakan tugas, terlambat masuk kelas, mengajukan pertanyaan aneh dan lain sebagainya (Soetipo,2005). Sebagai indicator dari sebuah kelas yang tertib menurut Suharsimi Arikunto adalah apabila
1.      Setiap siswa harus bekerja, artinya tidak ada siswa yang terhenti karena tidak tahu ada tugas yang harus dilakukan atau tidak dapat melakukan tugas yang diberikan kepadanya
2.      Setiap siswa  terus melakukan pekerjaan tanpa membuang waktu, artinya setiap siswa akan bekerja secepatnya supaya lekas menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya. Apabila ada siswa yang walaupun tahu dan dapat melaksanakan tugasnya, tetapi mengerjakanya kurang bergairah dan mengulur waktu bekerja, maka kelas tersebut dikatakan tidak tertinb.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pengelolaan kelas adalah menyediakan, meciptakan dan memelihara kondisi yang optimal didalam kelas sehingga siswa dapat belajar dan bekerja dengan baik.
C.    Berbagai Pendekatan dalam Pengelolaan Kelas
   Sebagai pekerja professional seorannng guru harus medalami kerangka acuan pendekatan-pendekatan pengelolaan kelas, dan dengan pendekatan yangdipilihnya diharapkan menjadi alternative terbaik untuk pemecahan masalahnya.
1.      Pendekatan Perubahan Tingkah Laku (Behavior Modification Aproach)
2.      Pendekatan Suasana Emosi dan Hubungan Sosial (Socio-Emotional-Climate Approach)
3.      Pendekatan Proses Kelompok (Group-Proceses Approach)
4.      Pendekatan Electis (Electic-approach)

D.    Prinsip-prinsip Pengelolaan Kelas  
      Terkait dengan pengelolaan kelas banyak factor-faktor yang mempengaruhi yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu, factor ekstern dan intern siswa. Faktor intern siswa berhubungan dengan masalah emosi, pikiran, dan peerilaku. Factor ekstern siswa terkait dengan masalah suasana lingkungan belajar, penempatan siswa , pengelompokan siswa, jumlah siswa di kelas, dan sebagainya. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk mengetahui dan menguasi prinsip-prinsip pengelolaan kelas. Berikut prinsip-prinsip pengelolaan kelas yang dimaksud
1.      Hangat dan Antusias
2.      Bervariasi
3.      Keluwesan
4.      Tantangan
5.      Penekanan pada hal-hal yang positif
6.      Penanaman displin diri

Senin, 16 Juli 2018

SEJARAH PERANG PADRI


(PERANG PADRI)

       Latar Belakang Terjadinya Perlawanan
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di daerah Minangkabau (Sumatra Barat) dan sekitarnya terutama di kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga1838.
Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Istilah Padri berasal dari kata Pidari atau Padre, yang berarti ulama yang selalu berpakaian putih. Para pengikut gerakan padri biasanya memakai jubah putih. Sedangkan kaum adat memakai pakaian hitam. Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa disebut gerakan Padri karena para pemimpin gerakan ini adalah orang Padari, yaitu orang-orang yang berasal dari Pedir yang telah naik haji ke Mekah melalui pelabuhan Aceh yaitu Pedir.
Adapun tujuan dari gerakan Padri adalah memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka agar sesuai dengan ajaran Islam yang murni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan ini mendapat sambutan baik di kalangan ulama, tetapi mendapat pertentangan dari kaum adat. (Mawarti, Djoened PNN, 1984:169).
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.
     
      Tokoh / Pemimpin Perang Padri
Adanya perselisihan antara kaum adat dan kaum padri sebagai akibat dari usaha yang dilakukan kaum padri untuk memurnikan ajaran Islam dengan menghapus adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran islam.
Campur tangan belanda dengan membantu kaum adat .Pertempuran pertama terjadi dikota lawas kemudian meluas ke daerah daerah lain. Sehingga muncul pemimpin pemimpin yang mendukung gerakan kaum padri seperti Datuk Bandaro, Datuk Malim Basa (Imam Bonjol), Tuanku pasaman dan Tuanku Nan Gapuk. 
Proses Perlawanan
Musuh  kaum Padri selain kaum adat adalah Belanda. Perlawanan dimulai tahun1821 Kaum Adat yang mulai terdesak dengan serangan Kaum Padri, meminta bantuan kepada Belanda. Kaum Padri memulai serbuan ke berbagai pos Belanda dan pencegatan terhadap patrol Belanda. Pasukan Padri bersenjatakan senjata tradisional, sedangkan musuhnya menggunakan meriam dan jenis senjata lainnya yang sudah dibilang cukup modern. Pertempuran banyak menimbulkan korban kedua belah pihak. Pasukan Belanda mendirikan benteng pertahanan di Batu sangkar diberi nama Fort Van Der Capellen.
Benteng pertahanan kaum Padri dibangun di berbagai tempat, antara lain Agam dan Bonjol yang diperkuat dengan pasukan yang banyak. Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui wakilnya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan mengadakan "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825 dan diingkari oleh Belanda sendiri. Pada April 1824 Raaf meninggal digantikan oleh Kolonel De Stuers. Dia membangun Benteng Fort De Kock,di Bukit Tinggi. Hal ini dilakukan karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Jawa yaitu Perang Diponegoro.
Tahun 1829 daerah kekuasaan kaum Padri telah meluas sampai ke Batak Mandailing, Tapanuli. Di Natal. Tapanuli Baginda Marah Husein minta bantuan kepada Kaum Padri mengusir Gubernur Belanda di sana. Maka setelah selesai perang Diponegoro, Natal di bawah pimpinan Tuanku Nan Cerdik dapat mempertahankan serangan Belanda di sana. Tahun 1829 De Stuers digantikan oleh Letnan Kolonel Elout, yang datang di Padang Maret 1931. Dengan bantuan Mayor Michiels, Natal dapat direbut, sehingga Tuanku Nan Cerdik  ke Bonjol. Banyak kampung yang dapat direbut Belanda. Tahun 1932 datang bantuan dari Jawa, di bawah Sentot Prawirodirjo. Dengan cepat Lintau, Bukit, Komang, Bonjol, dan hampir seluruh daerah Agam dapat dikuasai oleh Belanda. Melihat ini baik Kaum Adat dan Kaum Padri bersatulah mereka bersama-sama  menghadapi penjajah Belanda.

      Akhir Perlawanan
Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda, serangan ditujukan langsung ke benteng Bonjol. Membaca situasi yang gawat ini, Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda mengharapkan, bahwa perdamaian ini disertai dengan penyerahan. Tetapi Imam Bonjol berpendirian lain. Perundingan perdamaian ini adalah siasat mengulur waktu, agar dapat mengatur pertahanan lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan pertahanan dalam benteng dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui kekuatan musuh di luar benteng. Kegagalan perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837.
Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng Bonjol,yang didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng Bonjol tidak banyak menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu lawan satu tidak dapat dihindarkan lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak.Pasukan Padri terdesak dan benteng Bonjol dapat dimasuki oleh pasukan Belandamenyebabkan Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya menyerah pada tanggal 25 Oktober 1937. Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah tidak berarti perlawanan kaum Padri telah dapat dipadamkan. Perlawanan masih terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusi pada tahun 1838.  Setelah itu berakhirlah perang Padri dan daerah Minangkabau dikuasai oleh Belanda.
    
      Kesimpulan
Akhirnya pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil  ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu , yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Hancurnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah kenegeri sembilan semenanjung malaya dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai karena sudah tidak ada perlawanan yang berarti















DAFTAR PUSTAKA


http://iskandarberkasta-sudra.blogspot.com/2011/02/kedatangan-belanda-ke-indonesia.html
Notosusanto, Nugroho:Poesponegoro Marwati Djoened
. 2008. Sejarah Nasional Indonesia  Jilid IV.  Jakarta: PN Balai Pustaka.



Definisi dan tipe-tipe sejarah lokal


Sejarah Lokal
Indonesia adalah negara yang bersejarah.Banyak sekali tragedi atau peristiwa yang terjadi di negeri Indonesia.Mulai dari masa prasejarah, masa kerajaan, masa kolonial hangga masa kemerdekaan mewarnai sejarah panjang negeri kita ini.
Sebagai warga Indonesia, sudah sepantasnya bagi kita untuk mengenali sejarah- sejarah yang telah terjadi di negeri kita ini. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat menjadikan sejarah itu sebagai sebuah refleksi untuk melangkah ke depan menggapai cita-cita.
Istilah sejarah lokal di Indonesia kerap digunakan pula sebagai sejarah daerah, sedangkan di Barat disamping dikenal istilah local history juga community history, atauneighborhood history, maupun nearby history.

Definisi Sejarah Lokal
1.Kisah masa lampau dari kelompok masyarakat tertentu yang berada pada daerah geografis yang terbatas.
2.Suatu peristiwa yang terjadi dalam lokasi yang kecil, baik pada desa dan kota tertentu.
3.Studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkugan sekitar (neighborhood) tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
4.Suatu cabang studi sejarah yang terutama menekankan pengkajian peristiwa sejarah dilingkungan suatu lokalitas tertentu.
5.Sejarah yang terjadi dalam lokalitas yang merupakan bagian dari unit sejarah bangsa atau lebih tepat negara.
6.Sejarah dari suatu “tempat” suatu “locality” yang batasannya ditentukan oleh perjanjian penulis sejarah.
Ketika kita berbicara sejarah lokal disini bukan sejarah lokal tradisi, semisal babad, hikayat, lontara, tambo, ataupun lainnya.Melainkan sejarah yang menceritakan regionalitas, kedaerahan secara batasan-batasan tertentu. Misalkan melalui batasan-batasan geografis atau keberadaan suku yang mendiami tempat tersebut .Atau istilah lainnya ialah sejarah daerah (Moh. Ali 2005:155).
Pada awal pasca kemerdekaan, kebutuhan akan adanya sejarah nasional sangat tinggi guna mendukung eksistensi dari negara Indonesia yang baru tertentuk. Namun kemudian setelah beberapa lama disadari bahwa kecenderungan penulisan sejarah yang nasional sentries dapat mengabaikan realitas dinamika sosial yang majemuk, yang ada di masing-masing bagian wilayah republik ini (Sabang-Merauke). Hal ini tentu saja dapat merugikan bangsa Indonesia sendiri, karena sejarah yang bersifat nasional kerap mengabaikan makna bagi komunitas tertentu, terutama yang menyangkut sejarah di lingkungan sekitarnya.Lebih jauh, tidak dikenal atau diketahuinya bagian-bagiandari sejarah bangsa Indonesia secara lengkap atau detailsangat dimungkinkan, terburuknya adalah ada bagian-bagian sejarah daerah yang luput dari perhatian sebab tidak pernah diungkapkan.
Terbatasnya sumber tertulis merupakan salah satu faktor yang menjadikan sejarah lokal belum berkembang dengan baik.Sebagian besar sumber yang tersedia adalah sumber lisan baik itu tradisi lisan (oral tradition) maupun sejarah lisan (oral history). Memang dalam menggali sejarah lokal di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari apa yang namanya sumber lisan. Kebiasaan untuk menuliskan segala sesuatu yang pernah terjadi di lingkungan sekitarnya belum merupakan suatu keharusan atau kebutuhan yang perlu dilakukan oleh sebagian dari bangsa ini.Tidak heran sumber tertulis mengenai masa lalu suatu komunitas masyarakat di tempat/ lokalitas tertentu sangat-sangat terbatas, bahkan mungkin sumber lisan berupa tradisi lisan adalah satu-satunya akses untuk mendapatkan informasi tersebut.
Seperti tertuang dalam  Pedoman Penulisan Sejarah Lokal yang disusun Asisten Deputi Urusan Sejarah Nasional, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, disebutkan bahwa penulisan sejarah lokal dapat menjadi alat untuk memahami dinamika masyarakat lokal dan keterkaitannya dengan lokalitas lain. Di samping itu, sejarah lokal bisa digunakan untuk menelusuri asal-usul perkembangan, gejolak keresahan serta perwujudan budaya lokal serta memahami sumber daya tahan tradisi lokal.  Melalui sejarah lokal dapat dipahami pengetahuan dan kearifan lokal yang telah tenggelam atau terbawa arus perubahan yang dipaksakan dari luar.
Ada beberapa hal pentingnya mempelajari sejarah lokal antara lain:
1.Untuk menilai kembali generalisasi-generalisasi yang sering terdapat dalam sejarah nasional (periodisasi, dualisme ekonomi,dll.)
2.Meningkatkan wawasan/ pengetahuan kesejahteraan dari masing-masing kelompok yang akhirnya akan memperluas pandangan tentang ”dunia” Indonesia.
3.Membantu sejarawan profesional membuat analisis-analisis kritis.
4.Menjadi sumber/ bahan/ data sejarah untuk kepentingan no.1 dan para peneliti lainnya.
Tipe-Tipe Sejarah Lokal
A. Sejarah Lokal Tradisional
Yang dimaksud dengan Sejarah Lokal Tradisional adalah hasil penyusunan Sejarah dari berbagai kelompok etnik yang tersebar diseluruh Indonesia yang sudah bersifat tertulis.Tipe ini merupakan tipe sejarah lokal yang paling pertama muncul di Indonesia. Sifat lokalitasnya mudah dimengerti karena belum berkembangnya kesadaran akan kesatuan antar etnik, yang meliputi seluruh Indonesia seperti sesudah kabngkitan nasional pada permulaan abad ke-20.
Kelompok-kelompok etnik ini biasanya membuat lukisan tentang asal-usul peristiwa-peristiwa yang telah dialami oleh kelompoknya diwaktu yang lampau. Awalnya berupa Lisan yang diturunkan secara turun-temurun akan tetapi sesudah adanya tulisan diabadikan dalam bentuk tulisan, disamping masih ada yang masih dalam bentuk lisan. Diindonesia mengenai sejarah tradisional tersebut dikenal dengan : babad, hikayat, tambo, lontara, dsb.
Akhirnya penting disadari bahwa jenis sejarah Lokal ini, meskipun boleh dikatakan merupakan sejarah Lokal yang pertama–tama berkembang di Indonesia, namun pada kenyataanya masih tetap bertahan, bukan saja sebagai wwarisan masa lampau komunitas, tapi sering juga isinya masih dipercaya sebagai gambaran sejarah masa lalu jadi bersifat fungsional dalam kehidupan kelompok itu.
B. Sejarah Lokal Diletantis.
Salah satu karakteristik yang menonjol dalam Sejarah Lokal Diletantis adalah tujuan penyususnannya pada umumnya terutama untuk memenuhi rasa estetis individual melalui lukisan peristiwa masa lampau.Jadi apabila Serah lokal tradisional lebih mementingkan kelompok disini lebih mementingkan Individu atau keinginan pribadi.Untuk mencapai tujuan kesenangan itu maka beberapa peminat sejarah, bukan saja ingin membaca gambaran sejarah yang sudah jadi tapi lebih dari itu tergugah untuk menulis sejarah dirinya sendiri.Biasanya mereka tertarik menulis sejarah Lingkungannya sendiri dengan memanfaatkan sumber-sumber yang umumnya sudah dikenalnya dengan baik.
Siapakah yang biasanya mengembangkan diri sebagai sejarawan diletantis ini ?tentu saja jawabannya adalah mereka itu termasuk kalangan terdidik (tradisional maupun modern) dilingkunag masyarakatnya, yang karena itu mempunyai pandangan yang lebih luas dan bisa membaca sumber-sumber sejarah terutama yang berupa dokumen dan kemudian mampu melukiskan degan baik lukisan sejarah yang disusunnya. Biasanya yang dihasilkan adalah naratif kronologis dengan sedikit banyak bumbu emosional yang mencerminkan kecintaannya akan lingkungannya.
C. Sejarah Lokal Edukatif Inspiratif
Yang dimaksud dengan Sejarah lokal edukatif Inspiratif adalah jenis sejarah lokal yang disusun dalam rangka mengembangkan kecintaan Sejarah terutam apda sejarah Lingkunagnnya, yang kemudian menjadi pangkal bagi timbulnya kesadaran sejarah dalam artian yang luas (kesadaran lingkungan dalam rangka kesadaran sejaran nasional).
Menyusun sejarah Lokal seperti diatas memang tercermin dalam kata Edikatif dan Inspiratif, yang sering diangap merupakan salah satu aspek penting dalam mempelajari sejarah.Menyadari guna edukatif dari sejarah berarti menyadari makna dari sejarah sebagai gambaran peristiwa masa lampau yang penuh arti. Sedangkan kata inspiratif mengandung makna yang hampir sama dengan pengertian edukatifr seperti dijelaskan diatas hanya disini yang lebih ditekankan adalah “daya gugah” yang ditimbulkan oleh usaha mempelajari sejarah itu. Jadi kedua kata itu menunjukan semangat yang diharapkan bisa dikembangkan dalam sejarah.
Jadi penulis sejarah lokal ini menyusun sejarah Lingkungannya untuk mencapai tujuan-tujuan seperti digambarkan diatas. Biasa Lembaga pendidikan atau badan pemerintah daerah yang menggunakan Tipe ini yang mengnggap tugas ini sebagai bagian dari upaya pembangunan, khususnya pembangunan mental masyarakat juga pembanguna fisik karena diyakini apabila mental berhasil yaitu adanya kebangaan serta harga diri kolektif akan memudahkan bagi pemerintah setempat untuk memotifasi masyarakat untuk berpartisifasi dalam pembangunan fisik.
Biasanaya kegiatan ini dilakukan oleh para sejarawam non-profrsional seperti guru-guru, khususnya guru Sejarah.Tapi tidak jarang sejarawan profesional juga terlibat.Terutama yang mempunyai putera daerah.
D. Sejarah Lokal Kolonial.
Sejarah lokal Kolonial merupakan kategori tersendiri dalam tipologi sejarah lokal, terutama karena memiliki beberapa karakteristik yang dimilikinya.Karakteristik yang pertama dari Jenis sejarah Lokal ini adalah bahwa sebagian besar dari penyusunannya adalah pejabat-pejabat pemeerintah kolonial seperti Residen, asisten Residen, Kontrolir atau pejabat-pejabat pribumi tetapi atas dorngan dari pejabat Hindia Belanda.
Sebagian besar tulisan dari sejarah Lokal kolonial adalah tulisan-tulisan dari pejabat-pejabat kolonial di daerah-daerah. Laporanya bisa berupa memori serah jabatan, atau laporan khusus kepada pemerintah pusan Batavia tentang suatu perkembangan khusus di daerah kekuasaan pejabat yang bersangkutan. Mengenai tulisan-tulisan sejarah lokal Kolonial bisa dikemukakan beberapa sifatnya yang menarik.Pada umumnya kelihatan ada usaha untuk mengemukakan data yang cermat meskipun dengansendirinya dak unsur subjektivitas atas dasar adanya kepentingan kolonial yang mendasari berbagai macam tulisan itu.

D. Sejarah Lokal Kritis Analitis
Salah satu karakteristik yang paling mudah dilihat dalam sejarah lokal Tipe ini adalah sifat uraian atau pembahasan masalahnya yang telah menggunakan pendekatan Metodologis sejarah yang bersifat ketat. Mulai dari pemilihan obyek studi, langkah-langkah atau proses kerja samapai kepada penulisan laporan.
Yang mudah dikenal juga ialah bahwa pelaksanaan penelitiannya umumnya ditangan oleh sejarawan Profesional.Profesionalisme ini bukan saja ditentukan oleh latar belakang pendidikan formal ke sejaranya.Tetapi juga keterampilan dilapangan yang dikempangkan terutama pemngalaman penelitian yang memadai.Hal kedua yang penting ditekankan adalah karena pendidikan formal kesejateraan saja belum cukup merupakan jaminan bagi pencapaian hasil yang diharapkan.
Ada empat corak penulisan dalam sejarah lokal kritis analitis yaitu :
1.Studi yang difokuskan pada satu peristiwa tertentu (studi peristiwa khusus atau apa yang disebut”evenemental”.

2.Studi yang lebih menekankan pada struktur

3.Studi yang mengambil perkembangan aspek tertentu dalam kurun waktu tertentu (studi tematis dari masa ke masa).

4.Studi sejarah umum, yang menguraikan perkembangan daerah tertentu (profinsi, kota, kabupaten) dari masa ke masa.
Anak bangsa di negeri ini sudah sewajarnya diperkenalkan dengan lingkungan yang paling dekat yaitu desanya, kemudian kecamatan, dan kabupaten, baru tingkat nasional, dan internasional. Apabila mereka mencintai sejarah di daerahnya maka secara otomatis anak didik akan mengetahui tentang kearifan lokal tentang kebudayaan di daerahnya.
Sejarah lokal mempunyai arti sangat penting bagi anak didik kita. Dengan mempelajari sejarah lokal anak didik kita akan memahami perjuangan nenek moyangnya dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.